top of page
Search
  • Amanda Kalitawati

Membaca Arah Kebangkitan Kopi Majalengka di Era Kopi Gelombang Keempat (4th Wave Coffee)

“While at the time of this writing we are still waiting on samples from a couple different potential partners in Java (their main harvest generally wraps up in August), Piero came away from his trip here feeling very optimistic, with one Community Coffee booked from the smallholder producers of Majalengka in West Java. If that lot’s cup notes of sweet, tart citric acidity, dark chocolate, and smooth mouthfeel is any indication, this might be the start of something really delicious”.

-Café Import Origin Report, 2018


Apa yang pernah kawan-kawan dengar tentang Kopi Majalengka? Lemahsugih, Gunungwangi, Jahim, Maniis, Sindangwangi, atau Sadarehe mungkin beberapa nama daerah sebagai golongan asal (single origin) yang belakangan kerap terdengar atau terpampang di beberapa kedai kopi di Majalengka. Jika kita mundur ke belakang empat atau lima tahun lalu, Kopi Majalengka nyaris belum terdengar seperti yang kerap kita temui, bahkan orang-orang terlalu lumrah dengan memesan Kopi Aceh Gayo, Kopi Bali Kintamani, Kopi Sumatera Lintong atau Mandailing, atau Kopi Lampung misalnya. Kopi Majalengka inferior dibandingkan kopi-kopi daerah lain yang sudah amat santer namanya, setidaknya hingga dua-tiga tahunan yang lalu.


Sebelum membahas lebih jauh, mari kita menengok kembali sejarah kopi di Majalengka yang tercatat dimulai pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Distrik Maja dan Talaga merupakan penyumbang angka terbesar untuk areal penanaman kopi sebesar 88,22% dari total keseluruhan luasan kebun kopi di Majalengka, yaitu seluas 959 bau (Maja 358 bau, Talaga 601 bau) atau setara dengan total sekitar 6.805.064 meter persegi (680,5 ha).1 Kemudian sisanya disumbang oleh Distrik Majalengka 48 bau, Rajagaluh 32 bau, dan Jatiwangi 48 bau. Pada kurun waktu 1890-1902, Kabupaten Majalengka menjadi penghasil kopi terbesar untuk Karesidenan Cirebon bersama dengan Kabupaten Galuh. Tercatat pada kurun waktu tersebut, Kabupaten Majalengka menyumbang angka sebanyak 8094 pikul bagi Karesidenan Cirebon atau setara dengan sekitar 486 ton. Sedangkan Kabupaten Galuh 8217 pikul, Kuningan 4881 pikul, dan Cirebon 4870 pikul. Produksi tertinggi tercatat pada tahun 1892 yang mencapai 2.105 pikul atau setara dengan 126 ton.


Kemudian, meski tidak tercatat species Arabika, Robusta atau Liberika yang ditanam, tapi apabila kita meninjau perjalanan hikayat kopi di Indonesia, dari tahun 1696 hingga setidaknya 1876 adalah era Arabica yang bermula tahun 1696 ketika Jendral Adrian van Ommen membawa bibit kopi Arabica dari Malabar, India ke Batavia hingga serangan wabah karat daun pada 1876. Kemudian pada 1907 barulah bibit kopi Robusta dibawa dari Belgia ke Nusantara.3 Maka tak heran jika pada 1902, Kabupaten Majalengka menghasilkan angka terendah untuk produksi kopi sebanyak 52 pikul (3,1 ton) 4, mungkin salah satunya faktor alam itulah yang menjadi penyebab penurunan kondisi tersebut.


Lalu kurang lebih seabad kemudian, kami menemukan data di Tahun 2013-2014, produktifitas kopi Arabika dari perkebunan rakyat di Kabupaten Majalengka mencapai 650kg/ha.5 Kemudian di Tahun 2016 luasan perkebunan kopi rakyat di Majalengka yang dilansir dari data BPS mencapai 1.030 ha dengan produktifitas mencapai 203 ton.


Kopi Majalengka di Era Komodifikasi


Komodifikasi lahir akibat meluasnya produksi komoditas barang dan jasa yang hampir semuanya digeneralisir. Menurut Bernstein dalam Habibi (2018), proses ini timbul dimana produksi barang dan jasa serta reproduksi sosial (manusia) diciptakan untuk dan melalui pertukaran pasar yang sekaligus tunduk pada disiplin dan paksaan nilai-nilai pasar berupa kompetisi, inovasi, produktivitas, akumulasi, dan profit.


Komodifikasi dari salah satu bentuk kapitalisme muncul ketika era industrialisasi di Eropa, bahkan ketika munculnya peradaban manusia di dunia meski dalam bentuknya yang masih berupa benih. Banyak sekali praktik komodifikasi yang amat mudah kita temui di dalam kehidupan, misalnya semacam beras, buah-buahan, air kemasan mineral, minyak goreng, telur ayam, gula pasir, produk makanan lainnya hingga “bangku sekolah” atau apapun yang dipandang memiliki nilai ekonomi.

Komodifikasi kopi di Indonesia muncul ketika kongsi dagang Belanda (VOC) memproduksi kopi di Jawa untuk diperdagangkan di Eropa lantas memperoleh sambutan luar biasa hingga nama “Java” menjadi identik dengan kopi. Dari kurun waktu setelah berakhirnya era kolonial hingga setidaknya tahun 2014, rasanya kopi Majalengka hampir tak pernah terdengar gaungnya. Orang tua kita dulu mungkin akrab dengan “kopi tutu” atau kopi-kopi bubuk yang dijual di pasar-pasar tradisional. Namun, kita nyaris tak bisa memastikan, kopi jenis apa atau dari kebun yang mana kopi itu berasal. Yang pasti, bahwa kopi-kopi itu telah disangrai aswad (dark roasted).


Komodifikasi kopi mempengaruhi setiap rantai suplai hingga produk akhir yang kita kenal biasanya berupa kopi bubuk instan. Dari hulu hingga ke hilir semua dikomodifikasi, diproduksi secara masal untuk mencapai volume produksi tertentu secara masif. Inilah era kopi gelombang pertama. Sebab komodifikasi itu, yang dikejar adalah produktifitas atau volume, baik dalam bentuk buah atau ceri (orang kita menyebutnya gelonggongan petik parol/campur), gabah, atau kopi beras (green beans) hingga kopi sangrai atau bubuk. Dari situ lahirlah sebutan kopi komoditas/kopi asalan (commercial grade) bagi kopi beras yang belum disangrai. Seperti yang kita ketahuhi, kopi-kopi ini disangrai dengan aswad (dark roasted) untuk menyamarkan kuaitasnya yang kurang baik, selain juga mengikuti persepsi pasar dan aksioma umum bahwa kopi itu mestilah hitam seumpama malam dan getir seperti kenangan bersama mantan.


Dari penelusuran penulis pada tahun 2015, kopi beras Arabica dengan kualitas asalan (commercial grade) dijual ke pabrik-pabrik kopi di daerah sekitar, seperti Ciamis, Garut, Tasikmalaya, Sumedang, dan Bandung. Mekanisme pasar yang berlaku pada era tersebut yang menjadikan harga kopi tidak sebaik era gelombang ketiga di masa-masa sekarang. Kopi ceri biasanya dihargai Rp. 3000-4000/kg, terlepas itu petik merah atau parol (campur). Praktik semacam ini telah terlalu mapan berlangsung bertahun-tahun sehingga agak sulit mengubah pola pikir para petani atau pemilik kebun kopi di kemudian hari.


Dalam kapitalisme, korelasi supply dan demand memang berlaku sejadi-jadinya. Dalam hal ini, peran perantara atau tengkulak (bandar) juga menjadi peran yang amat sentris sehingga mereka memperoleh kuasa terhadap nilai-nilai pasar terlebih pada penentuan harga yang kerap kali kurang menguntungkan petani. Beberapa petani yang tak diuntungkan kemudian tak lagi menggarap lahannya. Dari mekanisme yang telah berjalan berpuluh dekade dari komodifikasi kopi itu, ada sebuah ruang kosong yang ditinggalkan namun menimbulkan berbagai peluang sekaligus tantangan.


Kebangkitan di Era Gelombang Keempat: Peluang dan Tantangan


Hal apakah yang menjadi ruang kosong yang juga sekaligus dapat menjadi peluang dan tantangan? Sebelum hal ini dibahas, ada baiknya mengawali dengan penjelasan singkat mengenai “gelombang ke-4.” Gelombang ke-4 atau 4th Wave coffee menurut baristainstitute.com;

“The 4th wave celebrates the science of coffee and the obsession to detail and perfect taste experience. The defining characteristics of 4th wave of coffee are:

· science of coffee

· accurate measurement in brewing

· deep understanding of properties of coffee

· water chemistry

· development of brewing equipment


Gelombang ke-4 menyemarakkan sains terhadap kopi dan obsesi terhadap detil serta pengalaman rasa yang sempurna. Karakteristik dari gelombang ke-4 diantaranya: melibatkan sains dalam kopi, pengukuran yang akurat dalam penyeduhan, pemahaman mendalam terhadap peralatan, pendekatan kimiawi untuk air penyeduhan, dan pengembangan terhadap piranti menyeduh.


Sedangkan Rodney Glick, Direktur Kopi dari Seniman Coffee sekaligus Kepala Bagian Inovasi di Karana Global menyatakan, bahwa 4th Wave adalah 3rd Wave yang sedang dialami di negara penghasil kopi, di mana 3rd Wave ditandai dengan ciri berupa artisan, fokus terhadap kualitas, micro-roasting (penyangrai kopi skala mikro), kerajinan tangan, dan transparansi terhadap sumber atau asal-muasal kopi.


Jika kita merujuk kepada pengertian menurut Glick, dapat dikatakan bahwa Majalengka sedang berada atau paling tidak baru beranjak di gerbang fase gelombang ke-3. Bisa kita lihat dengan berbagai macam cirinya, mulai dari munculnya beberapa “microroastery” serta mulai munculnya kopi-kopi lokal yang cukup berkualitas di kedai-kedai kopi yang menyajikan kopi seduh manual (manual brewing). Di balik itu, mungkin serangan es kopi susu menjadi semacam “distraksi” pada arus perkembangan ini. Tetapi, itu adalah satu dan lain hal, fragmen berbeda dari apa yang sedang kita bahas saat ini.


Lantas, apa yang menjadi peluang dan tantangan pada era ini?


Mari kita mulai dengan data. Pada tahun 2019, menurut data yang dikeluarkan BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Majalengka, total luas lahan perkebunan kopi mencapai 1.071,79 Ha yang tersebar di 17 kecamatan dengan total produktifitas mencapai 1.151,63 ton pertahun 2019. Perkebunan terluas berada di Kecamatan Lemahsugih mencapai 257.63 Ha dengan total produktifitas sebanyak 305,9 ton. Kemudian perkebunan kopi terluas kedua berada di Kecamatan Argapura yang mencapai 216,46 Ha dengan total produktifitas sebanyak 134,34 ton. Dari data ini memang tidak menjelaskan secara spesifik soal species dan varietas yang dihasilkan, apakah Arabica, Liberika atau Robusta, varietas Typica, Sigararutang, Lini S, Ateng, ataukah Kartika yang dihasilkan. Bahkan, tidak dijelaskan pula hasil produktifitas tersebut berupa ceri atau beras (green bean). Kami asumsikan bahwa angka tersebut merupakan produk dalam bentuk ceri. Maka, jika kita konversi lagi dengan penyusutan rata-rata 1:7, yang artinya dalam 7 kg ceri akan menghasilkan 1 kg kopi beras (green bean), maka akan diperoleh angka sebesar kurang lebih 165 ton kopi beras. Dari kopi beras, kita asumsikan penyusutan sebesar 14% setelah menjadi kopi sangrai.


Lepas daripada itu, luasan total lahan perkebunan kopi dan produktifitas yang dihasilkan perlu kita garisbawahi. Dengan tidak membandingkan angkanya dengan daerah-daerah lain, apa yang bisa kita perbuat dengan angka-angka yang tertera tersebut? Jikapun kita sudi berbuat, siap-siap saja kita bakal melalui jalan panjang dan berliku. Lalu, mari kita coba mengawalinya dengan beberapa asumsi.


Katakanlah jika hari ini di Majalengka terdapat 50 kedai kopi (sampai saat ini saat tulisan ini dibuat, kami baru berhasil mengitung terdapat 51 kedai kopi) berapa banyak serapan kopi lokal yang dikonsumsi oleh kedai kopi di Majalengka pertahun dalam hitungan kasar sekasar-kasarnya. Penulis membaginya menjadi dua scenario, yaitu scenario pesimistik dan optimistic. Berikut penjelasannya.

Skenario pesimistik dengan rumus: 0,4n x 12r x 10s x 26D x 12M

0,4n : Jika hanya 40% dari total kedai kopi yang menggunakan biji kopi lokal

r : Rata-rata penggunaan biji kopi persajian = 12gr

s : Rata-rata penjualan “filter coffee” per hari = 10 cangkir

D : Jumlah hari operasional perbulan = 26 hari

M : Jumlah bulan dalam 1 tahun operasional

T : Jumlah serapan (kg)

Maka, dapat dihitung:

T = (0,4 x 50) x 12 x 10 x 26 x 12

= 748.800 gram

= 748,8 kg


Dari perhitungan tersebut, dapat diketahui bahwa serapan kopi lokal dalam setahun dapat mencapai sebesar 748,8 kg.


Selanjutnya, jika menggunakan skenario optimistik dengan rumus: 0,8n x 12r x 20S x 26D x 12M

0,8n : Jika hanya 80% dari total kedai kopi yang menggunakan biji kopi lokal

r : Rata-rata penggunaan biji kopi persajian = 12gr

S : Rata-rata penjualan “filter coffee” per hari = 20 cangkir

D : Jumlah hari operasional perbulan = 26 hari

M : Jumlah bulan dalam 1 tahun operasional

T : Jumlah serapan (kg)

Maka, dapat dihitung:

T = (0,8 x 50) x 12 x 10 x 26 x 12

= 2.995.200 gram

= 2.995,2 kg (2,9 ton)

Dari perhitungan tersebut, dapat diketahui bahwa serapan kopi lokal dalam setahun dapat mencapai sebesar 2,9 ton.


Lalu, kita coba lagi dengan perhitungan kasar yang lain. Jika rata-rata penjualan sebuah kedai kopi itu mencapai 100 cangkir perhari dengan menggunakan 100% biji kopi lokal Majalengka dengan rata-rata 15gr tiap cangkirnya, bagaimana kita menghitungnya? Begini:

Dari 100 x 15 = 1500gr = 1,5kg/hari dikali 26 hari operasional, maka akan mencapai 39kg/bulan atau kita pukul rata menjadi 468kg pertahun di satu kedai kopi. Jika dikalikan 50 kedai kopi keseluruhan, maka akan mencapai angka 23,4 ton serapan kopi lokal Majalengka dalam satu tahun. Jika seandainya konfigurasinya berupa 80% Arabica dan 20% Robusta, maka akan mencapai serapan di angka 18,7 ton kopi Arabica dan 4,7 ton untuk kopi Robusta.


Tetapi perlu diingat pula, bahwa angka-angka ini masih berdasar asumsi atau hitungan secara kasar dan memang belum mencerminkan data atau kondisi aktual. Setidaknya akan mendekati. Tetapi, bagaimana sebaiknya kita menginterpretasikan angka-angka tersebut? Sebelum berlanjut, teguk dulu kopimu, Kawan!


Jika kita bandingkan data temuan BPS, 2019 dengan asumsi perhitungan yang kami buat, ternyata produktifitas kopi Majalengka masih jauh surplus dari kebutuhan kedai kopi lokal. Berdasarkan asumsi yang telah dijelaskan sebelumnya, serapan kopi Majalengka di kedai kopi lokal hanya mencapai kurang dari 15% dari total produktifitas kebun-kebun kopi yang ada di Majalengka. Lantas, apa yang akan kita perbuat dengan 85% lainnya untuk menjawab peluang dan tantangan yang ada di moncong hidung dan mulut kita, yang bisa saja hal itu menguap seketika bersama aroma kopi yang kita minum. Tidakkah kita memikirkannya?



Referensi:

Breman, Jan. 2014. Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Falah, Miftahul. 2011.

Sejarah Sosial Ekonomi Majalengka Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda (1819-1942).

Patanjala Vol. 3, No. 2, Juni 2011: 190-209. Bandung: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.

Glick, Rodney. 2017. Happening Now – Coffee’s 4th Wave. Bali: senimancoffee.com

Kabupaten Majalengka dalam Angka 2019. 2019. Majalengka: BPS Kabupaten Majalengka.

https://tirto.id/menyesap-kopi-menghisap-priangan-cti3


480 views0 comments

Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page